Kasus SOCI Bisa Berdampak Buruk ke Industri Perkapalan Indonesia

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Bola salju kasus yang menimpa PT Multi Ocean Shipyard (MOS) dikhawatirkan berdampak negatif kepada industri perkapalan Indonesia.

Tidak ada penjelasan dan tindakan konkrit atas kegagalan anak usaha PT Soechi Lines Tbk (SOCI) tersebut, dalam memenuhi pesanan terutama dari PT Pertamina (Persero).

Ketua Indonesian Governance Professionals Association, Hendy Fakhrudin mengungkapkan, banyak contoh kasus bisnis perusahaan termasuk emiten bermasalah diawali praktik yang tidak transparan dan tidak memenuhi prinsip akuntabilitas.

Dalam kasus SOCI, Hendy menyarankan manajemennya perlu memberikan penjelasan secara rinci kepada publik. Hal tersebut sebagai langkah antisipasi dari potensi terjadinya fraud, gratifikasi, dan sebagainya.

“Bayangkan, kontrak tanggal 7 Juni 2013 dengan masa pengerjaan 2 tahun, mestinya diserahkan 7 Juni 2015. Belum selesai, tapi perpanjangan kontrak baru terjadi 5 Oktober 2016. Ini artinya perpanjangan kontrak terjadi setelah wanprestasi,” kata Hendy di Jakarta, Selasa (27/11/2018).

“Belum lagi satu sudah kelihatan bakal terlambat, tapi masih ditambah dua kontrak lagi di Mei 2014. Oleh sebab itu, harus di cek apakah ada permainan di dalam,” ucap dia.

Adapun Pengamat Perkapalan dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Wasis Dwi Aryawan mengungkapkan, industri galangan kapal cocok untuk Negara seperti Indonesia dan India.

”Pemerintah mungkin menyadari itu dan sudah kasih insentif untuk industri galangan. Tapi pelaksanaan di lapangan kadang tidak sesuai yang diinginkan,” ujarnya.

Dalam kasus pesanan kapal diterima anak usaha SOCI, menurut Wasis, MOS secara profil tidak punya fasilitas pembangunan kapal saat itu, apalagi pengalaman yang tentu tidak cukup untuk membangun kapal sekelas pesanan Pertamina itu.

“Pertamina yang akan dirugikan dari semua keterlambatan yang terjadi. Bagaimana dengan distribusi minyak dalam negeri kalau kapalnya tidak tersedia? Pertamina terpaksa harus sewa. Untuk sewa kan perlu biaya, sedangkan jika MOS bisa tepat waktu, Pertamina mestinya sudah bisa menggunakan kapal sendiri. Kerugian ini juga harus dipertimbangkan,” terang Wasis.

Seperti diketahui, Pertamina memesan tiga unit kapal tanker minyak olahan 17.500 LTDW. Seharusnya sudah selesai pada pertengahan 2015. Sudah tiga tahun terjadi keterlambatan.

Selain dari Pertamina, MOS juga menerima pesanan dari Dirjen Perhubungan Laut (Dithubla) Kementerian Perhubungan. Sebanyak tiga unit kapal perintis tipe 750 DWT dan kapal kenavigasian yang dipesan.

Jika dihitung dengan denda keterlambatan 1/1000 dari nilai kontrak sesuai Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, MOS terancam denda hingga USD 100 juta.