Kenaikan GWM Dipandang Ganggu Pemulihan Ekonomi
Pasardana.id - kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah di Bank Umum Konvensional secara bertahap mulai 1 Maret 2022, dari saat ini sebesar 3,5% dengan pemenuhan secara rata-rata 0,5 persen secara harian hingga 6,5 persen pada September 2022, dinilai tidak tepat oleh sejumlah ekonom.
Salah satu ekonom yang menilai kebijakan itu belum saatnya, yakni Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Dendi Ramdani.
Dia menilai, kebijakan itu tidak diperlukan pada saat ini, karena tekanan inflasi saat ini terjadi bukan karena faktor permintaan atau demand side.
Artinya, bukan karena uang beredar meningkat akibat kenaikan penghasilan dan simpanan masyarakat. Namun tekanan inflasi tersebut akibat faktor penawaran atau supply side.
"Sehingga pengetatan moneter belum diperlukan saat ini, tetap memperbaiki faktor-faktor dari supply side," kata Dendi kepada media, Rabu (16/2/2022).
Ia melanjutkan, perbaikan pada 'supply side' antara lain menjaga agar jalur distribusi tidak ada spekulasi dan penyimpangan, dan pelaku pasar tetap kompetitif.
Untuk itu, Dendi menyarankan, tekanan inflasi ini perlu dicari solusi bersama pemerintah, tidak hanya diselesaikan oleh Bank Indonesia.
"BI perlu berhitung betul penyebab yang mengakibatkan tekanan inflasi, kapan kontraksi moneter perlu dilakukan. Sekarang masih perlu pelonggaran moneter, bukan kontraksi moneter, karena bisa mengganggu pemulihan ekonomi," tutur Dendi.
Ekonom yang pernah menjadi tim anti mafia migas dan kini salah satu kandidat Komisioner Otoritas Jasa Keuangan itu menaksir, kebijakan itu akan membuat perbankan harus meningkatkan dana yang harus disimpan di Bank Indonesia, sehingga mengurangi uang beredar di masyarakat, termasuk di kocek perbankan.

