ANALIS MARKET (07/1/2019) : Tiga Sektor Alami Kenaikan Tertinggi di Pekan Pertama

Foto : Ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Menjalani pekan pertama perdagangan di tahun 2019, pergerakan pasar saham Tanah Air terlihat cukup positif. Sempat melemah di hari pertama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil berbalik menguat di dua hari berikutnya.

Dalam periode 2 hingga 4 Januari 2019, IHSG mengalami kenaikan 1,29 persen dengan ditutup pada level 6.274,540.

Analis market Pasardana.id, Arief Budiman mengungkapkan, secara sektoral, hampir seluruhnya berakhir di zona hijau pada pekan kemarin, kecuali hanya sektor pertanian yang tercatat melemah 0,24 persen.

“Adapun tiga sektor yang mencatatkan kenaikan tertinggi pada pekan kemarin yaitu sektor konsumer (2,98 persen), disusul properti (2,54 persen), dan pertambangan (1,53 persen),” jelas Arief di Jakarta, Senin (07/1/2019).

Di sisi lain, lanjut Arief, investor asing mencatatkan pembelian bersih (net buy) sepanjang pekan lalu senilai Rp788,86 miliar.

Adapun saham-saham yang paling banyak diborong oleh investor asing antara lain:

1. Saham UNVR (Rp137,64 miliar)

2. Saham PGAS (Rp119,89 miliar)

3. Saham HMSP (Rp115,47 miliar)

4. Saham WSKT (Rp81,83 miliar)

5. Saham UNTR (Rp69,67 miliar).

Sentimen Negatif

Lebih lanjut Arief menjelaskan, performa IHSG terlihat sangat mentereng pada pekan lalu dibandingkan dengan bursa saham utama kawasan Asia.

Indeks Shanghai (China) menguat 0,84 persen, indeks Hang Seng (Hong Kong) naik 0,48 persen, dan indeks Strait Times (Singapura) bertambah 0,19 persen.

Sementara itu, indeks Nikkei (Jepang) dan indeks Kospi (Korea) maing-masing mengalami pelemehan 2,11 persen dan 1,51 persen.

Sentimen negatif yang cukup mendominasi pasar pada pekan kemarin adalah perlambatan ekonomi global yang semakin terlihat nyata.

Berbagai rilis data ekonomi di Amerika Serikat (AS), Eropa, sampai Asia menunjukkan tanda-tanda pelemahan.

Di AS, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi ISM pada Desember 2018 tercatat 54,1. Angka tersebut menjadi yang terendah sejak November 2016.

Sementara di Eropa, laju inflasi Zona Euro pada November 2018 direvisi ke bawah dari 2 persen menjadi 1,9 persen. Ini menunjukkan adanya perlambatan permintaan di Benua Biru.

Di Asia, data ekonomi yang “kurang memuaskan” terjadi di mana-mana. Angka PMI China versi Caixin pada Desember 2018 tercatat 49,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 50,2. Angka di bawah 50 menandakan bahwa pelaku usaha tengah pesimistis.  

Kemudian dari Korea Selatan, PMI versi Nikkei/Markit pada periode yang sama tercatat 49,8. Turun dibandingkan November 2018 yang sebesar 49,9. Lagi-lagi ada aura pesimisme di kalangan dunia usaha Negeri Ginseng.

Lalu di Singapura, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2018 adalah 2,2 persen secara tahunan (year on year/YoY). Jauh di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu di level 3,2 persen YoY.  

Berikutnya, angka PMI manufaktur di India versi IHS Markit pada Desember tercatat 53,2, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54.

Terakhir, penjualan ritel di Hong Kong pada November 2018 hanya tumbuh 1,4 persen YoY. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan 5,9 persen. Pertumbuhan November juga menjadi yang terlemah sejak Juni 2017.

Sentimen Positif

Namun pada akhir pekan, ungkap Arief, ada sentimen positif yang membuat pasar saham Benua Kuning mampu bangkit dengan bergairah. Kabar positif itu datang dari China.  

Mengutip Reuters, AS dan China dikabarkan akan melangsungkan pertemuan tingkat wakil menteri di Beijing pada 7-8 Januari. Kedua negara akan berdialog mengenai isu-isu perdagangan, menindaklanjuti hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan Desember. Di sela-sela KTT G20 tersebut, Trump dan Xi menyepakati “gencatan senjata” selama 90 hari.

Selepas pertemuan Trump-Xi di Buenos Aires, hubungan AS dengan China memang semakin harmonis. Pertemuan di Beijing pekan depan diharapkan menjadi pembuka jalan menuju damai dagang, sesuatu yang saat diimpikan oleh pelaku pasar.  

Akibatnya sikap risk aversion pun hilang, dan pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke instrumen berisiko di negara berkembang Asia. 

“Satu sentimen besar bertajuk damai dagang mampu menopang bursa saham Asia bangkit,” tandas Arief.