Somasi Rohayani Pada GGRM dan Djarum Bentuk Ketidakpercayaan Pada Pemerintah

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Somasi Rohayani kepada PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Djarum dengan tuntutan ganti rugi hingga Rp 1 triliun, dinilai banyak kalangan sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada pemerintah dalam menjalankan fungsinya dalam kesejahteraan masyarakat umum dan kesehatan masyarakat secara khususnya.

Hal itu disampaikan Ketua Bidang Hukum-HAM dan Penguatan Implementasi Nilai-nilai Pancasila PP GPII, Maulana Sumarlin di Jakarta, Senin (12/3/2018).

“Mensomasi pabrik rokok, terlebih melayangkan gugatan, sama artinya tidak mempercayai pemerintah, dalam rangka mengelola kebijakan, baik secara umum maupun teknis di bidang ini,” ujar dia.

Sumarlin beralasan, GGRM dan PT Djarum kewajibannya sudah menunaikan dengan baik, melalui setoran Cukai dan CSR kepada pemerintah dan masyarakat. Sehingga, persoalan kesehatan masyatakat pada umumnya, terlebih pasien yang memiliki riwayat sebagai perokok harus diambil oleh pemerintah.

“Pemerintah harus memberikan pertolongan kesehatan yang terbaik sebagai bentuk komitmen dan keseriusan dalam mengelolaan pendapatan dari penghasilan cukai dari perusahan-perusahan rokok di tanah air,” tegas dia.

Terlebih, jelas dia, sampai saat ini, merokok merupakan kegiatan yang tidak  dilarang oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah telah mempertimbangkan nasib perokok dan pendapatan yang akan di dapat dari industri rokok.

“Sepanjang rokok tidak di larang oleh pemerintah, berarti pemerintah sudah sangat baik memperhitungkan nasib para perokok, dan penghasilan yang di terima dari industri rokok,” jelas dia.

Pada sisi lain, Sumarlin menilai dasar somasi Rohayani juga sangat lemah. Sebab, dalam hal ‘Tanggung Jawab Pelaku Usaha pada konsumen di Undang Undang  No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 19 ayat 1 berbunyi "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”  berlaku penafsiran yang bersifat umum atas norma itu.   

“Misalnya, jika semua perokok mengidap sakit yang sama, kualifikasi norma di atas, baru bisa di jadikan dasar gugatan yang masuk akal pada pabrik rokok tertentu,” jelas dia.