Kepemilikan 32,32% Saham BFIN Hilang, Boy Thohir Turut Digugat APT

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – PT Aryaputra Teguharta (APT) menggugat Boy Thohir selaku pemimpin Trinugraha Capital & Co SCA. Pasalnya, Boy Thohir melakukan transaksi material terhadap saham PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFIN) pada tahun 2011, sehingga transaksi pengambil alihan saham tersebut menyebabkan hilangnya 32,32% saham BFIN milik APT.

Kuasa Hukum APT, Pheo dari HHR Lawyers menegaskan, APT kembali mengajukan gugatan terkait transaksi ilegal dan pembeli beritikad buruk melalui gugatan yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor Registrasi Perkara: /PDT.G/2018/PN.JKT.PST tertanggal 1 Oktober 2018.

“Dalam gugatannya, APT meminta pertanggungjawaban hukum terhadap tindakan akuisisi yang menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh saham milik APT yang dilakukan oleh salah satu Indonesian tycoon, Garibaldi Thohir atau yang dikenal sebagai Boy Thohir selaku pemimpin Trinugraha Capital & Co SCA (Konsorsium bentukan TPG Capital dan Northstar Group Pte Ltd) pada tahun 2011,” tegas Pheo di Jakarta, Kamis (4/10/2018).

Lebih jelasnya, Konsorsium Trinugraha Capital sudah seharusnya telah mengetahui carut marut silang sengketa kepemilikan saham, dimana status APT sebagai pemilik sah (lawful owner) atas 32.32% saham telah diputuskan jauh-jauh hari sebelum transaksi pembelian saham tersebut oleh Putusan inkracht PK MA No. 240/2006.

“Dari penelusuran yang dilakukan, untuk memfasilitasi dilaksanakannya tindakan transaksi ilegal tersebut, Trinugraha Capital & Co SCA sengaja didirikan sebagai perusahaan cangkang (atau yang dikenal dengan special purpose vehicle) di Luxemburg hanya kurang dari satu bulan, sebelum dilaksanakannya akuisisi oleh Trinugraha pada tanggal 19 Mei 2011,” jelas dia.

Pheo mengatakan, terdapat asas caveat emptor (buyer must be aware) yang melekat kepada pembeli, karena tidak mungkin pembeli mau “membeli kucing dalam karung”, apalagi kalau barang yang dibeli tersangkut dengan sengketa kepemilikan. Pembeli yang membeli barang sengketa dalam praktiknya dapat dianggap sebagai pembeli beritikad buruk, dan sepantasnya tidak mendapat perlindungan hukum. 

Dugaan tersebut itu menguat seiring dengan langkah yang dilakukan Boy Thohir, jelas Pheo. Adapun Konsorsium Trinugraha Capital dari sejak awal sudah tahu ada perkara ini saat beli saham BFIN, tapi kemudian karena ada gempuran tuntutan dan proses hukum dari APT yang akan berujung meminta pertanggungjawaban hukum kepada Konsorsium Trinugraha Capital, barangkali jalan keluar termudah dan terpikir yang bisa mereka lakukan adalah segera mengalihkan saham yang dikuasainya kepada private investment bank lainnya, yaitu Compass Banca S.P.A yang merupakan 100% anak perusahaan dari Mediobanca S.P.A.

Berdasarkan penelusuran, terdapat fakta, karena legal action yang dilakukan APT akhir-akhir ini, semua investor bonafide mundur dari rencana pembelian saham BFI. Mulai dari Warbug Pincus, Baring Private Equity, semua diberitakan mundur atau tidak jadi mengakuisisi saham-saham yang dijual oleh konsorsium Trinugraha Capital setelah mengetahui kalau barang yang mereka mau beli itu sedang ada sengketa dalam sengketa, apalagi ada risiko hukumnya.

“Bahkan sudah ada Penetapan Penundaan PTUN Jakarta, kok malah Mediobanca dan Compass Banca ini maju dengan kacamata kuda menghiraukan risiko ini. Apalagi kalau bukan lanjutan tindakan mafia investor internasional?” kritis Pheo.

Lebih lanjut dalam gugatan tersebut, Compass dan Mediobanca juga ditarik sebagai pihak tergugat yang dimintakan pertanggungjawabannya sebagai pembeli beritikad buruk atau diduga sebagai penadah, yaitu membantu eksodus Konsorsium Trinugraha Capital dari BFI (illegal short selling). Karena tidak mungkin ada investor kredibel yang mau menggelontorkan ratusan juta dolar uangnya untuk membeli perusahaan yang jelas ada risiko hukum berupa sengketa kepemilikan saham yang telah diliput secara luas baik dalam maupun di luar negeri. Kecuali kalau investor ini sebenarnya juga merupakan “fronting” atau hanya sebagai alat (vehicle) semata untuk memuluskan rencana Konsorsium Trinugraha Capital kabur dari BFI.

“Kembali saya tegaskan, ini bukan motif investasi komersial murni, melainkan ada modus udang di balik batu. Kami tetap yakin hukum Indonesia akan menjerat investor model seperti ini,” ujar Pheo.