ANALIS MARKET (17/10/2018) : Pasar Obligasi Diproyeksi Menguat

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id – Riset harian Kiwoom Sekuritas menyebutkan, pagi ini pasar obligasi diperkirakan akan dibuka seharusnya mengalami penguatan.

Analis Kiwoom Sekuritas, Maximilianus Nicodemus menjelaskan, bahwa hal tersebut didukung oleh pelemahan yang sudah mencapai batasnya, sehingga kalaupun pasar obligasi mengalami pelemahan kembali nantinya, pasar obligasi harus mengalami penguatan sebelum pada akhirnya mengalami pelemahan kembali.

“Untuk transaksi jangka pendek hal ini dapat dilakukan, namun harus tetap hati hati. Bagi para investor, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun yang sudah menyentuh di atas 8.80%, tentu merupakan signal untuk masuk meksipun dalam volume yang tidak besar. Target berikutnya, dari imbal hasil 10y adalah 8.95%,” terang Nico dalam laporan riset yang dirilis Rabu (17/10/2018).

Beralih dari sana, pada akhirnya Badan Anggaran DPR dan Pemerintah telah menyepakati usulan asumsi dasar seperti yang disebutkan diatas.

Menurut Nico, hal ini memberikan indikasi bahwa akan menjadi sesuatu yang sangat berat untuk Rupiah bisa kembali dibawah Rp 15.000 untuk tahun depan. 

Pasalnya, setiap depresiasi 1% nilai tukar akan mendorong kenaikan inflasi 0,03%. Dengan asumsi dari Rp 14.500 ke Rp 15.000 akan menaikkan inflasi dari 3,49% menjadi 3,56%, tentu hal ini masih sesuai dengan target yang diberikan Pemerintah.

“Kami merekomendasikan hold hingga berpotensi beli hari ini apabila kenaikkan harga obligasi terjadi > 50 bps,” jelas Nico.

Sebelumnya, diperdagangan obligasi kemarin (16/10), total transaksi dan frekuensi turun dibandingkan hari sebelumnya ditengah tengah pelemahan harga obligasi yang terjadi kemarin. 

Total transaksi didominasi oleh obligasi berdurasi <1 tahun, diikuti dengan 10 – 15 tahun dan 7 – 10 tahun. Sisanya tersebar hingga > 25 tahun.

“Pasar obligasi kemarin (16/10) masih mengalami pelemahan, meskipun Rupiah berhasil mengalami penguatan akibat melemahnya Dollar. Lelang yang masuk pun cukup antusias, namun tidak seperti biasanya. Kekhawatiran akan harga obligasi yang terus menurun menjadi salah satu alasan utama,” tandas Nico.