Agar Mampu Bersaing, Pertamina Perlu Efisiensi Holistik

Pasardana.id - Daya saing Pertamina dipertanyakan manakala Shell melakukan gebrakan menurunkan harga BBM oktan tinggi.
Rendahnya daya saing Pertamina terjadi karena inefisiensi dalam tubuh BUMN tersebut.
Hal ini sudah menjadi masalah klasik, karena selama ini Indonesia Crude Price (ICP) umumnya lebih tinggi dibanding harga BBM dunia.
Selain persoalan mafia migas sebagaimana menjadi sorotan banyak kalangan saat ini, inefisiensi yang terjadi bisa disebabkan oleh ketidakmampuan manajemen dalam aktivitas-aktivitas yang berujung pada biaya yang tinggi.
Sesungguhnya, pada pertengahan 1990-an, Pertamina telah melakukan restrukturisasi yang menyebabkan pengurangan jabatan dan jumlah pegawai yang signifikan.
Di sisi lain, pegawai yang tetap eksis mengalami peningkatan pendapatan yang cukup besar. Kebijakan ini sangat baik untuk mengurangi beban gaji serta potensi blue collar crime karena pegawai telah mendapat pendapatan yang memadai sehingga mengurangi keinginan pegawai bawah untuk memperoleh pendapatan tidak halal.
Namun sayangnya, dengan ada persoalan mafia migas meningkatkan white collar crime.
Terlepas dari persoalan mafia migas yang menjadi pekerjaan rumah manajemen, biaya overhead Pertamina yang besar yang disebabkan aktivitas-aktivitas yang tidak menambah nilai perlu menjadi perhatian untuk ditekan.
Salah satu aktivitas tidak menambah nilai adalah waktu tunggu (waiting time).
Ini yang diangkat oleh Komisaris Utama Pertamina saat menyebutkan Jetty (dermaga) yang sengaja dibiarkan rusak telah menyebabkan waktu tunggu kapal untuk kegiatan bongkar-muat BBM menjadi lama sehingga menimbulkan denda yang ditanggung Pertamina.
Terkait dengan itu, pada tahun 2011, Pertamina Manado-Bitung pernah membuat Quality Control Project (QCP) tentang pemanfaatan Jetty yang tak terpakai. Hasilnya, dapat mengurangi waktu tunggu kapal di Depot Bitung sebanyak 700 jam dalam waktu 3 bulan yang menghemat biaya ratusan juta Rupiah.
Namun sayangnya, hasil QCP ini tidak diadopsi oleh Pertamina secara keseluruhan.
Contoh seperti ini memperlihatkan bahwa masih terbuka “ruang luas” bagi Pertamina untuk melakukan efisiensi secara besar-besaran dengan menerapkan manajemen berbasis aktivitas (activity based management-ABM).
Penerapan ABM dilakukan dengan membedah aktivitas-aktivitas Pertamina secara rinci dan dikelompokan ke dalam “aktivitas yang menambah nilai” dan “aktivitas yang tidak menambah nilai.”
Aktivitas yang tidak menambah nilai diantaranya: waktu tunggu, perbaikan atas produk cacat, waktu pemindahan yang lama, persediaan berlebihan, dan sebagainya.
Aktivitas yang tidak menambah nilai menjadi target penghilangan agar efisiensi biaya dapat terjadi.
Penghilangan aktivitas-aktivitas tidak menambah nilai dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Beberapa diantaranya adalah: (1) perbaikan layout peralatan agar mengurangi waktu pemindahan produk; (2) pengaturan jaringan distribusi agar dapat menghemat biaya transportasi; (3) manajemen persediaan agar mengurangi tumpukan persediaan dan biaya pergudangan; (4) mengatur kapasitas peralatan antar proses produksi agar menurunkan waktu tunggu barang dalam proses; (5) perbaikan peralatan atau penyediaan peralatan untuk mengurangi waktu tunggu dan produk cacat.
Penggunaan ABM merupakan salah satu pendekatan holistik Pertamina untuk memperbaiki kinerja biaya lewat pengendalian aktivitas. Pada dasarnya, ABM bukan konsep manajemen baru dan sangat powerful untuk meningkatkan, namun kurang mendapat perhatian dari kalangan dunia usaha di Indonesia. Apabila manajemen Pertamina berkomitmen menjalankan ABM, maka efisiensi biaya terutama biaya overhead akan tinggi yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing produk Pertamina.***
Penulis : DR. Agus Tony Poputra, SE.MM.MA,Ak – Dosen FEB Universitas Sam Ratulangi