Executive Order Presiden Trump : Siapa Takut?

Foto : Business Insider

Pasardana.id - Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tak habis-habisnya menciptakan polemik internasional.

Baru-baru ini, Jumat (31/3/2017) lalu, waktu setempat, Trump merilis daftar 16 negara, yang dinilainya curang atau yang bertanggungjawab atas defisit neraca perdagangan AS, hingga merugi US$50 miliar (Rp666,4 triliun).

Menariknya, Indonesia menjadi salah satu negara di antara, China, Kanada, Prancis, Jerman, India, Irlandia, Italia, Jepang, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Swiss, Taiwan, Thailand dan Vietnam, yang ada dalam daftar 16 negara yang dinilai curang tersebut.

Menanggapi hal ini, Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan Bank Indonesia (BI), Nanang Hendarsah meyakini, kebijakan Trump tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap kinerja perdagangan Indonesia.

“Bagi Indonesia dampaknya tidak akan sebesar negara lain, karena dari struktur ekspor kita ke AS lebih banyak tidak secara langsung. Jadi, kalau pun Indonesia ekspor ke AS pasti melalui negara lain," jelas Nanang di gedung BI, Jakarta, Kamis (06/4/2017).

Namun secara garis besar, jelas Nanang, BI melihat ada tiga indikator yang dipergunakan AS dalam menentukan mana saja negara yang dianggap sudah merugikan.

Pertama, dari sisi perdagangan. Masing-masing negara yang memiliki surplus lebih dari US$20 miliar dengan AS, maka masuk sebagai negara yang masuk kriteria merugikan.

Kedua, transaksi berjalan di tiap negara yang mencetak surplus karena imbas dari neraca jasa yang positif.

Ketiga, adalah negara-negara yang melakukan intervensi kurs mata uang secara terus menerus.

Terkait nilai tukar mata uang, menurut Nanang, pihaknya (Bank Indonesia) hanya akan berada di pasar ketika mata uang rupiah terjatuh dari fundamental yang sebenarnya. Jika sebaliknya, maka hal itu tidak akan dilakukan.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan, bahwa pihaknya saat ini sedang menginventarisasi komoditas Indonesia, yang sudah dan berpotensi di eskpor ke AS. Sembari, meminta perwakilan pemerintahan Indonesia di Washington DC memantau terus perkembangan kebijakan perdagangan yang ada di sana.

Kementerian Perdagangan, menurut Enggar, telah melakukan beberapa langkah antisipasi untuk menghadapi sentimen proteksionisme Pemerintah AS di bawah kepemimpinan Trump.

Langkah pertama, ujar Enggar, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, adalah diversifikasi pasar non-tradisional tujuan ekspor. Pasar baru yang dimaksud, seperti negara di kawasan Afrika, Timur Tengah, Euarasia, sampai Amerika Latin.

Sejumlah negara di kawasan ini disebut-sebut belum secara maksimal memanfaatkan hubungan perdagangannya dengan Indonesia, sehingga masih banyak potensi.

"Pasar-pasar baru ini, kami upayakan dalam tahun ini target kita bisa tanda tangan dengan 16 negara untuk kerja sama," ujarnya.

Kemudian, lanjut dia, Indonesia juga akan memperkuat kerja sama perdagangan secara regional dan multilateral dalam beberapa forum perdagangan, misalnya Regional Comprehensive Economic Partnership ataupun Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement.

Asal tahu saja, terkait nilai transaksi perdagangan Indonesia-Amerika Serikat, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor produk non-migas Indonesia ke AS tergolong besar, yakni mencapai US$2,78 miliar pada Februari 2017 lalu.

Ini menempatkan AS sebagai negara tujuan ekspor non-migas kedua terbesar bagi Indonesia, setelah China yang sebesar US$2,91 miliar. Di urutan ketiga, India dengan nilai ekspor US$2,34 miliar.