Industri TPT Masih Kesulitan Ekspor
![foto : istimewa](/media/9786/ilustrasi_industri_tekstil.jpg?crop=0,0.053843759726112737,0,0&cropmode=percentage&width=675&height=380&rnd=132532004440000000)
Pasardana.id - Kementerian Perindustrian (Kemperin) sedang memetakan kebijakan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Kebijakan ini diharapkan meningkatkan ekspor TPT.
“Ekspor ini mengalami tren penurunan,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto di Jakata baru-baru ini.
Nilai ekspor TPT turun sebesar 3,6% menjadi US$12,28 miliar pada 2015 dibandingkan 2014 mencapai yang US$12,74 miliar.
Kontribusi industri juga turun menjadi 1,21% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2015 ketimbang 2015 mencapai 1,32%.
Berdasarkan data yang ada, nilai ekspor TPT turun 3,6 persen dari 12,74 miliar dollar AS pada 2014 menjadi 12,28 miliar dollar AS pada 2015.
Sedangkan sumbangan produk TPT Indonesia terhadap PDB merosot dari 1,32 persen pada 2014 menjadi 1,21 persen pada 2015.
Sementara PDB produk TPT terkontraksi dalam lima kuartal terakhir.
Penyusunan peta kebijakan ini melibatkan industri TPT dari lima provinsi di Pulau Jawa yakni Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), Jawa Timur (Jatim), Banten, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Maksud dan tujuan diadakan pertemuan tersebut adalah untuk memperkuat industri TPT yang tengah lesu,” ujarnya.
Airlagga mengakui, kualitas TPT asal Indonesia telah diakui dunia didukung industri ini telah terintegrasi dari hulu sampai hilir.
Namun, sejumlah masalah masih dihadapi industri TPT nasional.
“Saat ini sedang mengalami berbagai persoalan baik yang bersifat internal dan eksternal," jelasnya.
Insentif akan diberikan Kemperin bagi pengekspor TPT adalah pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).
Langkah ini diberikan bagi produsen TPT menggunakan bahan baku lokal dibandingkan bahan baku impor.
Padahal, industri TPT sulit memperoleh bahan baku lokal yakni kapas, rayon, dan polyster. Karena, kapas belum bisa dihasilkan lokal lantaran mereka mengalami fluktuasi harga.
“Sudah berapa pabrik spanning (pemintalan) tutup,” jelas Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Timur, Sherlina Kawilarang.
Begitu pula bahan baku rayon hanya dihasilkan dua pabrik. Produksi ini untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
“Kita pembeli ngemis-ngemis pada pabrik rayon tak dikasih,” ucapnya.
Harga polyester juga mahal di dalam negeri ketimbang di luar negeri. Namun, harga ini menjadi tinggi lantaran ditambah bea masuk, bea impor, dan tarif anti dumping.
“Ini yang bikin kain yang kita jual di pasar dunia jadi lebih mahal," ujarnya.
Soal tarif listrik yang membebani produsen TPT akan dilakukan penggantian ini menjadi pemakaian gas.
Padahal, harga jual industri di dalam negeri sebesar US$8-US$10 per Million British Thermal Unit (MMbtu) atau lebih tinggi ketimbang di negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara yang dimaksud seperti Singapura sekitar US$4-US$5 per MMbtu, Malaysia sekitar US$4,47 per MMbtu, Filipina sekitar US$5,43 per MMbtu, dan Vietnam sekitar US$7,5 per MMbtu.
“Industri di dalam negeri pasti rontok, kalau harga gas tidak diturunkan,” jelas Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono.
Sementara itu, Dwi Soetjipto, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) menanggapi bahwa penurunan harga gas bagi industri masih dikajinya. Dari langkah itu belum bisa diketahui apakah harga gas untuk industri bisa diturunkan.
“Harga gas berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya," tandasnya.