Asosiasi Daerah Penghasil Migas Minta Kementerian ESDM Kaji Skema Gross Split

Pasardana.id - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta tidak menyamaratakan seluruh blok migas menggunakan skema kontrak bagi hasil gross split. Seharusnya, ada kriteria kontrak migas yang menggunakan skema cost recovery maupun yang menggunakan skema gross split.
Gross split merupakan skema perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor migas yang diperhitungkan di muka.
Melalui skema kontrak tersebut, pemerintah menilai negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sehingga penerimaan negara menjadi lebih pasti. Selain itu, pemerintah beranggapan dengan menggunakan gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor.
Sementara untuk skema cost recovery, biaya operasi pada akhirnya menjadi tanggungan pemerintah. Dengan begitu, kontraktor akan terdorong untuk lebih efisien karena biaya operasi merupakan tanggung jawab kontraktor. Semakin efisien kontraktor maka keuntungannya semakin baik.
"Untuk kontrak-kontrak baru yang dibuat pemerintah sebaiknya diberikan alternatif kalau gross split seperti apa, kalau cost recovery seperti apa, supaya fair sehingga investor bisa memilih. Ini karena hasilnya gross split dalam tiga tahun terakhir masih belum diketahui apakah lebih banyak produksinya atau tidak," ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Daerah Penghasil Migas (ADPM) Andang Bachtiar dalam keterangannya, Senin, (21/10/2019).
Menurut Andang, pengguna skema gross split adalah blok-blok produksi yang sudah habis masa kontraknya. Berdasarkan analisis teknik dan bisnis, ada kontrak migas yang bagus menggunakan gross split karena ujungnya ialah efisiensi.
"Gross split bisa berlaku kalau blok-blok produksinya sudah diketahui dan sudah pasti ada cadangan migasnya. Tapi kalau masih eksplorasi, biasanya investor lebih suka kalau biaya eksplorasinya bisa ditanggung balik atau dibayar kembali," jelasnya.
Lebih lanjut, ucap Andang, blok eksplorasi dan blok produksi berbeda. Menurut pengamatannya, investor blok eksplorasi justru lebih banyak menyukai skema cost recovery.
Di sisi lain, Andang menganggap skema gross split bisa mengancam ketahanan energi. Pasalnya, penggunaan skema ini bisa membuat berkurangnya kontrol negara atas produksi migas nasional.
"Bahkan kontrol negara bisa hilang sama sekali, dan itu akan menurunkan ketahanan energi nasional terutama pada aspek ketersediaan energi," beber dia.
Selain produksi migas, kontrol negara atas pengelolaan cadangan juga bisa berkurang dan hilang. Hal ini bisa berujung pada melesetnya produksi migas, akibat dari kerusakan cadangan yang pada akhirnya juga akan menurunkan ketahanan energi nasional.
Dengan skema gross split ini, Andang melihat keinginan pemerintah meningkatkan kegiatan eksplorasi migas tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan akan sulit tercapai.
Penyebabnya, para kontraktor akan lebih mengutamakan efisiensi biaya dan menggenjot produksi untuk penerimaan daripada berisiko mengeluarkan biaya untuk eksplorasi. Apalagi tidak ada cost recovery.
Lebih lanjut ia menilai pengembangan lapangan marginal dan perolehan minyak lanjutan atau Enhanced Oil Recovery (EOR) akan sulit dikembangkan karena biayanya yang besar dan tingkat pengembalian investasinya kecil.
Padahal, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sudah direncanakan, dalam lima tahun ke depan akan mulai meningkatkan produksi dari potensi EOR sejumlah 2,5 miliar barel minyak bumi yang masih tersimpan di reservoir.
"Implementasi transfer teknologi, pengembangan sumber daya manusia, tingkat komponen dalam negeri, dan standardisasi juga akan sulit dilakukan. Hal ini disebabkan kurang atau tidak adanya kontrol langsung pemerintah pada proses eksplorasi dan produksi dalam sistem gross split," tandasnya.