Jokowi Marah Terkait Anggaran Penanganan Covid-19, Begini Tanggapan Sri Mulyani

Foto : istimewa

Pasardana.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkap sinyalemen adanya kekhawatiran konsekuensi hukum dari setiap pelaksanaan kebijakan pencairan anggaran.

Menurutnya, semua pihak merasa khawatir, sehingga perlu untuk tetap akuntabel dalam pengunaan anggaran. Dampaknya, akuntabilitas itu jadi terkesan memperlambat pencairan anggaran.

"Alasannya bukan karena Pemerintah tidak punya uang. Itu enggak. Tapi karena like it or not, everybody itu khawatir banget nanti," Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (29/6/2020).  

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, kekhawatiran tersebut sudah dirasakan sejak awal pembahasan anggaran. Itulah sebabnya, Presiden Jokowi senantiasa mengundang Kejaksaan Agung, BPK, Kepolisian hingga KPK untuk hadir dalam setiap rapat.

“Presiden menginginkan ini harus segera, apalagi melihat kondisi ekonomi yang sudah menurun pada April, Mei dan Juni ini. Kita berharap untuk bisa membalikkan. Maka kita akan bertanya terus, apalagi instrumen yang bisa dilakukan? Tetapi landasan hukumnya juga harus rapi. Kita coba rapikan, apa nih di dalam existing undang-undang dan apa yang ditampung dalam Perppu yang bisa kita pakai untuk mencantolkan kebijakan kita. Tetap punya landasan hukum yang baik, namun kita responsif," ujar Sri Mulyani. 

Menurut data Kementerian Keuangan (Kemkeu), anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk sektor kesehatan saat ini baru terserap sebesar 4,68%. Realisasi untuk bidang-bidang lainnya juga sudah meningkat, meskipun masih tergolong rendah.

Sebagai informasi, untuk biaya penanganan Covid-19 dan juga program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), totalnya sebesar Rp 695,2 triliun.

Dari jumlah tersebut, rinciannya adalah Rp 87,55 triliun untuk bidang kesehatan, Rp203,9 triliun untuk program perlindungan sosial, Rp123,46 untuk dukungan kepada UMKM, Rp120,61 triliun untuk insentif bagi dunia usaha, Rp53,57 triliun untuk pembiayaan korporasi dan BUMN, dan Rp106,11 triliun untuk memberikan dukungan bagi sektoral maupun kementerian/lembaga serta pemerintah daerah.

“Untuk update mengenai Pemulihan Ekonomi Nasional, sektor kesehatan telah mencapai 4,68%, bidang perindungan sosial 34,06%, insentif dunia usaha 10,4%, dukungan untuk UMKM 22,74%, untuk pembiayaan korporasi masih 0%, dan untuk sektoral dan Pemda 4,01%,” kata Sri Mulyani.

Dalam pencairan anggaran, Menkeu menjelaskan, mekanismenya juga tidak langsung ditransfer ke tiap-tiap kementerian/lembaga, tetapi berdasarkan dokumen anggaran.

“Untuk mekanisme pencairan anggaran, bukan bahwa tiap menteri kita transfer ke semuanya, tidak begitu. Ini berdasarkan dokumen anggaran. Kalau memang sudah perlu, berapapun sudah keluar dan memang sudah ada bukti pencairannya, kita akan transfer,” jelas Sri Mulyani.

Namun masing-masing kementerian/lembaga tentunya berfikir untuk tetap akuntabel dan hati-hati. Karenanya dalam berbagai Rapat terbatas (Ratas), Presiden juga turut mengundang Jaksa Agung, Kapolri, BKPK hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Suka atau tidak, setiap orang merasa dia khawatir banget nantinya. Makanya Presiden selalu mengatakan kalau kita tujuannya untuk membantu atau untuk mengelola krisis ini, maka pertangggungjawabannya adalah kepada rakyat. Tetapi itu kan penyampaian Bapak Presiden, ini tetap perlu ditopang oleh berbagai landasan peraturan. Ini yang selalu kayak begitu. Di level makin ke bawah makin khawatir, sehingga tidak membuat terobosan. Padahal Presiden ingin dalam posisi krisis, kita harus sering melakukan langkah-langkah yang beyond. Beyond itu kemudian tidak menjadi masalah akuntabilitas nantinya, itulah yang selalu menjadi titik track off-nya. Makanya kami akan selalu mencoba, apa nih aturan yang ada yang kita bisa stretch saja. Pokoknya asal kita tidak punya konflik kepentingan,” beber Menkeu.