Pengakuan Transaksi Mahata Bermasalah, GIAA Perlu Perbaiki Laporan Keuangan 2018

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dipandang perlu melakukan penyajian ulang laporan keuangan tahun buku 2018.

Pasalnya, emiten pelat merah sektor penerbangan itu mencatatkan pendapatan senilai USD239 juta dari pelepasan layanan hak wi-fi gratis kepada PT Mahata Aero Teknologi.

Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Tarkosunaryo dalam diskusi publik bertajuk ‘Peran Akuntan Publik Dalam Tata Kelola Laporan Keuangan Entitas’ di Jakarta, Jumat (21/6/2019).

“Pengakuan pendapatan atas transaksi Mahata itu terlalu dini sehingga sebaiknya laporan keuangan GIAA tahun 2018 perlu diperbaiki agar kepentingan publik terlindungi,” pinta Tarko.

Pandangan itu, kata dia, setelah melakukan penelaahan atas laporan keuangan tahun 2018 GIAA, kemudian berkomunikasi dan meminta informasi kepada Kantor Akuntan Publik (KAP) yang melakukan audit terhadap laporan keuangan tersebut.

“Hasil kesimpulan telah kami komunikasikan kepada regulator (OJK dan Kementerian Keuangan),” ucap dia.

Lebih lanjut ia menjelaskan, transaksi senilai USD239 juta tersebut terlalu dini diakui dalam laporan keuangan 2018, karena kontrak GIAA dengan Mahata dengan jangka waktu 15 tahun dan dengan Sriwijaya selama 10 tahun masih perjanjian awal yang masih perlu ditindaklanjuti.

“Apalagi pemasangan alat wi-fi itu pada Desember 2018 dan baru satu dari 200-an pesawat yang harus dipasang,” kata dia.

Selain itu, lanjut dia, transaksi GIAA dan Mahata dengan alokasi slot iklan merupakan transaksi tunggal. Hal itu berbeda dengan pengakuan GIAA yang mencatatkan transaksi itu dalam dua transaksi berbeda yang dianggap terpisah.

Padahal, GIAA masih akan menanggung risiko atas pemasangan, pengelolaan, pemeliharaan peralatan layanan karena menggunakan pesawat GIAA.

“Kami lihat, pemenuhan aspek manfaat ekonomi dari pendapatan mengalir ke GIAA tahun 2018 atas transaksi itu, masih diragukan karena ketika kerjasama operasi GIAA dengan Sriwijaya berhenti ditengah jalan akan menimbulkan risiko dispute atas nilai USD28 Juta,” papar Tarko.