Masih Tergantung Produk Impor, Indonesia Dinilai Belum Maksimal Manfaatkan Perjanjian Perdagangan Internasional

foto : ilustrasi (ist)

Pasardana.id - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia for Global Justice (IGJ) menilai, Indonesia masih belum maksimal memanfaatkan beberapa perjanjian perdagangan internasional, seiring makin meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap produk-produk impor.

Direktur IGJ, Rachmi Hertanti mengungkapkan, rata-rata pemanfaatan Preferential Free Trade Agreement (FTA) untuk mendorong kinerja ekspor masih sangat rendah, yakni hanya berkisar 30-35 persen. Bahkan dalam ASEAN-India FTA, pemanfaatan Preferential FTA masih 6,05 persen.

"Rendahnya pemanfaatan Preferential FTA mengindikasikan rendahnya daya saing," ujar Rachmi di Jakarta, Selasa (30/1/2018).

Selain itu, lanjut dia, produk keunggulan komparatif Indonesia masih sedikit dan lebih didominasi oleh produk rendah teknologi. Hal tersebut disebabkan rendahnya nilai tambah produksi yang dimiliki sehingga membuat sebaran pasar menjadi sangat terbatas.

Menurut Rachmi, selama ini, fakta menunjukkan bahwa kebijakan liberalisasi perdagangan yang diambil oleh Indonesia tidak mendorong terjadinya trade diversion, tetapi semakin mengarah kepada trade creation yang meningkatkan ketergantungan produk impor sebagai substitusi produk lokal yang dianggap mahal dan tidak kompetitif.

Lebih rinci dijelaskan, trade diversion adalah pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien, ke negara yang ikut serta dalam perjanjian walau kurang efisien. Sementara itu, trade creation adalah penggantian produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain.

Terkait trade creation yang menciptakan ketergantungan yang tinggi pada produk impor, yang kemudian berdampak terhadap industri lokal yang semakin tidak kompetitif menghadapi gempuran produk impor. Rachmi mencontohkan, industri baja lokal yang akhirnya 'teriak' menghadapi gempuran produk baja impor.

Dia juga menegaskan, aturan perjanjian perdagangan bebas yang mengadopsi prinsip non-diskriminasi terhadap penggunaan produk impor dan lokal, tentunya menjadi salah satu faktornya. Namun, hal tersebut tidak memberikan insentif bagi penguatan industri dalam negeri.

"Kewajiban penggunaan kandungan dalam negeri atau TKDN seharusnya mampu mendorong peningkatan peran industri dalam negeri dalam mengambil peran lebih. Namun kebijakan ini terus menghadapi tantangan dimana FTA menyebutnya sebagai aturan yang “haram"," ujar Rachmi.

Data perdagangan Indonesia 2017 menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor terus menunjukkan peningkatan. Sepanjang 2017, kontribusi impor bahan baku penolong sebesar 75,46 persen, yang dibandingkan pada 2016 terjadi peningkatan sebesar 16,56 persen.

Adapun hingga September 2017, tercatat sudah 10 perjanjian ekonomi internasional telah ditandatangani dari 21 perundingan yang dilakukan di Indonesia. Sejumlah perjanjian dilakukan secara bilateral dan juga dalam konteks Indonesia sebagai anggota ASEAN.